𝗧𝗘𝗥𝗝𝗘𝗠𝗔𝗛 𝗠𝗜𝗡𝗛𝗔𝗝𝗨𝗟 𝗤𝗢𝗪𝗜𝗠 𝗕𝗮𝗴.𝟯

Diposting oleh Ilmu Alam Bercak on Kamis, 29 September 2022

📚 𝗧𝗘𝗥𝗝𝗘𝗠𝗔𝗛 𝗠𝗜𝗡𝗛𝗔𝗝𝗨𝗟 𝗤𝗢𝗪𝗜𝗠 𝗕𝗮𝗴.𝟯
====================

إِمَّا عَنْ نَفْسِ الْإِنْعَامِ فَتَكُوْنُ صِفَةَ فِعْلٍ أَوْ عَنْ إِرَادَتِهِ فَتَكُوْنُ صِفَةَ ذَاتٍ
adakalanya dari hakikat pemberian nikmat itu sendiri, maka rahmat itu menjadi Sifat Perbuatan, atau [adakalanya] dari kehendak memberi nikmat, maka rahmat itu menjadi Sifat Zat.

وَكَذَا سَائِرُ أَسْمَائِهِ تَعَالٰى الْمُسْتَحِيْلِ مَعْنَاهَا فِيْ حَقِّهِ الْمُرَادُ بِهَا غَايَتُهَا
Dan begitu juga seluruh nama-nama Allōh Ta'āla yang mustahil maknanya pada hak Allōh, maka yang dimaksud dengan nama-nama itu adalah tujuan dari nama-nama tersebut.

*(اَلْحَمْدُ)* أَيْ كُلُّ ثَنَاءٍ بِجَمِيْلٍ سَواءٌ كَانَ فِيْ مُقَابَلَةِ نِعْمَةٍ أَمْ لَا ثَابِتٌ وَمَمْلُوْكٌ وَمُسْتَحَقٌّ *(لِلّٰهِ)*
*(𝗦𝗲𝗴𝗮𝗹𝗮 𝗽𝘂𝗷𝗶)*, yakni setiap sanjungan dengan elok. sama saja adanya pujian itu dalam hal merespon kenikmatan ataupun tidak. Itu tetap dan dimiliki dan menjadi hak *(𝗯𝗮𝗴𝗶 𝗔𝗹𝗹𝗼𝗵)*.

وَأَرْدَفَ التَّسْمِيَّةَ بِالْحَمْدِ اِقْتِدَاءً بِأُسْلُوْبِ الْكِتَابِ الْعَزِيْزِ
Dan pengarang kitab [Syekh Abdulloh bin Abdurrohman Bafadhol Al-Hadhromiy] mengikutkan lafazh basmalah [selelahnya] dengan lafazh hamdalah, karena mencontoh terhadap gaya bahasa kitab Al-Qur'an yang Mulia, 

وَعَمَلًا بِمَا صَحَّ مِنْ قَوْلِهِ ﷺ *كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ* أَيْ حَالٍ يُهْتَمُّ بِهِ *لَا يُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدُ لِلّٰهِ فَهُوَ أَجْذَمُ*
dan karena mengamalkan terhadap apa [hadits] yang ter-shohih-kan dari sabda Nabi Muhammad ﷺ : “𝙎𝙚𝙩𝙞𝙖𝙥 𝙥𝙚𝙧𝙠𝙖𝙧𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙢𝙞𝙡𝙞𝙠𝙞 𝙝𝙖𝙡 𝙥𝙚𝙣𝙩𝙞𝙣𝙜, yakni keadaan yang harus diperhatikan, 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙢𝙪𝙡𝙖𝙞 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙥𝙚𝙧𝙠𝙖𝙧𝙖 𝙩𝙚𝙧𝙨𝙚𝙗𝙪𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙪𝙘𝙖𝙥𝙖𝙣 𝘼𝙡-𝙆𝙝𝙖𝙢𝙙𝙪𝙡𝙞𝙡𝙡𝙖𝙝, 𝙢𝙖𝙠𝙖 𝙥𝙚𝙧𝙠𝙖𝙧𝙖 𝙞𝙩𝙪 [𝙗𝙖𝙜𝙖𝙞 𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙮𝙖𝙣𝙜] 𝙩𝙚𝙧𝙥𝙤𝙩𝙤𝙣𝙜 𝙟𝙖𝙧𝙞-𝙟𝙚𝙢𝙖𝙧𝙞𝙣𝙮𝙖”.

وَفِيْ رِوَايَةٍ *أَقْطَعُ* وَفِيْ أُخْرٰى *أَبْتَرُ* أَيْ قَلِيْلُ الْبَرَكَةِ
Dan dalam riwayat yang lain [disebutkan]: “[bagai orang yang] 𝙩𝙚𝙧𝙥𝙤𝙩𝙤𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖”. Dan dalam riwayat yang lain [disebutkan]: “[bagai hewan yang] 𝙩𝙚𝙧𝙥𝙤𝙩𝙤𝙣𝙜 𝙚𝙠𝙤𝙧𝙣𝙮𝙖”, yakni sedikit barokahnya [kurang berkah].

وَفِيْ رِوَايَةٍ *بِبِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ* وَفِيْ أُخْرٰى *بِذِكْرِ اللّٰهِ*
Dan dalam riwayat yang lain [disebutkan]: “… 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙪𝙘𝙖𝙥𝙖𝙣 𝙗𝙞𝙨𝙢𝙞𝙡𝙡𝙖𝙖𝙝𝙞𝙞𝙧 𝙍𝙤𝙝𝙢𝙖𝙖𝙣𝙞𝙧 𝙍𝙤𝙝𝙞𝙞𝙢 ...”. Dan dalam riwayat lainnya [disebutkan]: "... 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙗𝙚𝙧-𝙙𝙯𝙞𝙠𝙞𝙧 𝙠𝙚𝙥𝙖𝙙𝙖 𝘼𝙡𝙡𝙤𝙝 …”.

وَبِهَا يَتَبَيَّنُ أَنَّ الْمُرَادَ الْبَدَاءَةُ بِأَيِّ ذِكْرٍ كَانَ
dan dengan riwayat yang terakhir ini, menjadi jelas bahwa yang dimaksud adalah mengawali dengan dzikir apa saja.

وَقَرَنَ الْحَمْدَ بِالْجَلَالَةِ إِشَارَةً إِلٰى أَنَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالٰى يَسْتَحِقُّهُ لِذَاتِهِ لَا بِوَاسِطَةِ شَيْءٍ آخَرَ
Dan pengarang kitab [Syekh Abdulloh bin Abdurrohman Bafadhol Al-Hadhromiy] menyertakan kalimat pujian dengan lafazh jalalah [lafazh Allōh], sebagai isyarat bahwa sesungguhnya Allōh Subkhanahu wa Ta’ala berhak terhadap pujian itu karena Zat-Nya sendiri, bukan dengan sebab perantara perkara yang lain.

وَآثَرَ كَغَيْرِهِ الْحَمْدَ عَلَى الشُّكْرِ لِأَنَّ الْحَمْدَ يَعُمُّ الْفَضَائِلَ وَهِيَ الصِّفَاتُ الَّتِيْ لَا يَتَعَدّٰى أَثَرُهَا لِلْغَيْرِ
Dan beliau [pengarang kitab ini, dalam memuji Allōh] seperti ulama lainnya, telah memilih lafazh al-Khamdu [dibandingkan] atas lafazh syukur, karena bahwa lafazh al-Khamdu itu merata kepada 𝗮𝗹-𝗙𝗮𝗱𝗵𝗼̄𝗶𝗹 [berbagai keutamaan], yaitu sifat-sifat yang dampaknya tidak bisa menular kepada orang lain,³

وَالْفَوَاضِلَ وَهِيَ الصِّفَاتُ الْمُتَعَدِّيَةُ
dan [merata kepada] 𝗮𝗹-𝗙𝗮𝘄𝗮𝗱𝗵𝗶𝗹 [berbagai pemberian], yaitu sifat-sifat yang [dampaknya] bisa menular/berpengaruh [kepada orang lain],⁴

وَالشُّكْرُ يَخْتَصُّ بِالْأَخِيْرَةِ
sedangkan lafazh syukur terkhususkan hanya untuk sifat yang terakhir [Al-Fawadhil].

*(الَّذِيْ فَرَضَ)* أَيْ أَوْجَبَ *(عَلَيْنَا)* مَعْشَرَ الْأُمَّةِ إِيْجَابًا عَيْنِيًّا لَا رُخْصَةَ فِيْ تَركْهِ
*(𝗭𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗻𝗳𝗮𝗿𝗱𝗵𝘂𝗸𝗮𝗻)* yakni mewajibkan *(𝗮𝘁𝗮𝘀 𝗸𝗶𝘁𝗮)* golongan umat [Nabi Muhammad ﷺ], dengan wajib ‘ain [kewajiban yang bersifat individu] yang tidak ada dispensasi dalam meninggalkannya,

*(تَعَلُّمَ)* مَا نَحْتَاجُ إِلَيْهِ لِمُبَاشَرَتِنَا لِأَسْبَابِهِ
*([𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸] 𝗺𝗲𝗺𝗽𝗲𝗹𝗮𝗷𝗮𝗿𝗶)* segala sesuatu [ilmu] yang kita butuh kepadanya, supaya kita dapat mengusahakan dalam menjalankan sebab-sebabnya.

فَالْعِبَادَاتُ يَجِبُ عَلٰى كُلِّ مُكَلَّفٍ تَعَلُّمُ مَا يَكْثُرُ وُقُوْعُهُ مِنْ شُرُوْطِهَا وَأَرْكَانِهَا فَوْرًا فِي الْفَوْرِيِّ
Maka ibadah-ibadah itu diwajibkan bagi setiap mukallaf [untuk] mempelajari hal-hal yang sering terjadi/berlaku [dari ibadah tersebut], yaitu berupa syarat-syarat ibadah dan rukun-rukunnya, dengan segera pada perkara yang bersifat [harus] segera [dilaksanakan],

وَمُوَسَّعًا فِي الْمُوَسَّعِ كَالْحَجِّ وَالْمُعَامَلَةِ وَالْمُنَاكَحَةِ وَغَيْرِهَا
dan dengan dilonggarkan [waktunya] pada perkara yang dilonggarkan [waktu pelaksanaannya], seperti ibadah haji, mu'amalah [transaksi], pernikahan dan selainnya.

===========
📋 𝗖𝗔𝗧𝗔𝗧𝗔𝗡:
===========
³ Contohnya seperti sifat tampan, pandai dan pemberani. Dan sah-sah saja orang dikatakan pandai/alim meskipun ia tidak mengajar atau menularkan ilmunya, sehingga dampak kepandaiannya tidak bisa menular kepada yang lain alias ilmunya tidak bermanfaat kepada orang lain.  

⁴ Contohnya seperti sifat dermawan atau murah hati. Orang bisa dikatakan bersifat dermawan jika ia telah memberikan derma kepada orang lain, sehingga ada dampak (berupa uang, shodaqoh, pemberian) yang manfaatnya ditularkan kepada yang lain.
Advertisement

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar