📚 *TERJEMAH MINHAJUL QOWIM Bag.4*
===================
لَا يَجِبُ تَعَلُّمُ ذٰلِكَ فِيْهِ إِلَّا عَلٰى مَنْ أَرَادَ التَّلَبُّسَ بِهِ
Tidak wajib mempelajari hal-hal [yang longgar waktunya] itu dalam mempelajarinya, kecuali bagi siapa saja yang ingin berkecimpung [menggeluti diri] dengannya.
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَ مَثَلًا اِمْرَأَةً ثَانِيَةً لَا يَحِلُّ لَهُ حَتّٰى يَتَعَلَّمَ غَالِبَ أَحْكَامِ الْقَسْمِ وَنَحْوِهِ وَعَلٰى هٰذَا فَقِسْ
Maka barang siapa yang ingin menikah dengan wanita yang kedua umpamanya, maka hal itu tidaklah halal baginya hingga ia mempelajari sebagian besar berbagai hukum [ketentuan] menggilir [isteri] dan hal semacamnya. Dan atas [mempelajari hukum menggilir istri] ini, maka persamakanlah [kasus yang lain dengannya].
أَمَّا الْإِيْجَابُ عَلَى الْكِفَايَةِ بِمَعْنٰى أَنَّهُ إِذَا قَامَ بِهِ الْبَعْضُ سَقَطَ عَنِ الْبَاقِيْنَ
Adapun wajib kifayah [kewajiban yang bersifat kolektif], dengan pengertian bahwasanya apabila sebagian orang telah melakukannya, maka gugurlah kewajiban itu dari yang orang-orang yang lainnya,
فَيَعُمُّ سَائِرَ *(شَرَائِعِ الْإِسْلَامِ)* وَمَا يَتَوَقَّفُ مَعْرِفَتُهَا أَوْ كَمَالُهَا عَلَيْهِ كَالنَّحْوِ وَغَيْرِهِ
maka hukum wajib kifayah tersebut merata kepada seluruh *([wajib mempelajari] syari'at-syari'at Islam)* [lainnya] dan segala ilmu yang bergantung pengetahuan syari'at Islam atau kesempurnaannya itu kepada ilmu tersebut, seperti ilmu nahwu dan ilmu lainnya.
وَالشَّرَائِعُ جَمْعُ شَرِيْعَةٍ وَهِيَ لُغَةً مَشْرَعَةُ الْمَاءِ وَشَرْعًا مَا شَرَّعَهُ اللّٰهُ لِعِبَادِهِ مِنَ الْأَحْكَامِ
Lafazh *_syarōi’u_* [شَرَائِعُ] adalah bentuk jamak dari lafazh *_syarī’ah_* [شَرِيْعَةٌ]. Dan syarī'ah [biasa disebut syari’at] menurut bahasa adalah tempat mengalirnya air, sedangkan menurut syara' adalah sesuatu yang diberlakukan oleh Alloh bagi hamba-hamba-Nya, berupa hukum-hukum.
فَالْإِضَافَةُ بَيَانِيَةٌ أَوْ بِمَعْنَى اللَّامِ وَهُوَ أَوْلٰى إِذِ الْإِسْلَامُ هُوَ الْإِنْقِيَادُ وَالْإِسْتِسْلَامُ
Maka idhofah/penyandaran [lafazh syarōi’u kepada lafazh al-Islam] adalah _*idhofah bayaniyyah*_ [keadaan mudhof dan mudhof ilaih itu sama-sama umum], atau [menyimpan] maknanya *_lām_*, dan menyimpan makna lām ini lebih utama, sebab Islam itu adalah suatu ketundukan dan kepatuhan.
وَتُعَرَّفُ الشَّرِيْعَةُ أَيْضًا بِأَنَّهَا وَضْعٌ إِلٰهِيٌّ سَائِقٌ لِذَوِي الْعُقُوْلِ بِاخْتِيَارِهِمْ الْمَحْمُوْدِ إِلٰى مَا يُصْلِحُ مَعَاشَهُمْ وَمَعَادَهُمْ
Dan syari'at dapat didefinisikan juga bahwa syari'at itu adalah ketetapan/ketentuan ilahi [penetapan dari Alloh] yang menggiring kepada para pemilik akal, dengan upaya sadar mereka [tanpa paksaan] yang terpuji, kepada sesuatu yang bisa memperbaiki kehidupan mereka dan masa depan akhirat mereka.
*(وَ)* تَعَلُّمَ *(مَعْرِفَةِ)* جَمِيْعِ أَحْكَامِ *(صَحِيْحِ الْمُعَامَلَةِ)* وَالْمُنَاكَحَةِ وَالْجِنَايَةِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِكُلٍّ *(وَفَاسِدِهَا)*
*(dan)* [wajib] mempelajari *(pengetahuan)* semua hukum-hukum *(mengenai sahnya mu'amalah [transaksi])*, pernikahan, pidana dan hal-hal yang terkait dengan semua itu *(dan [mengenai] rusaknya [tidak sahnya] hal-hal tersebut)*.
وَإِنَّمَا وَجَبَ عَلَى الْكَافَّةِ ذٰلِكَ عَيْنًا أَوْ كِفَايَةً
Dan sesungguhnya diwajibkan hal-hal itu bagi seluruh [orang mukallaf], hanyalah secara fardhu ‘ain [kewajiban individu] atau fardhu kifayah [kewajiban kolektif],
*(لِتَعْرِيْفِ)* أَيْ مَعْرِفَةِ *(الْحَلَالِ)* الشَّامِلِ لِلْوَاجِبِ وَالْمَنْدُوْبِ وَالْمُبَاحِ وَالْمَكْرُوْهِ وَخِلَافِ الْأَوْلٰى
*(agar dapat mengetahui)*, yakni mengenal *(perkara yang halal)* yang mencakup pada perkara yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan perkara yang *_khilaful Awla⁵_* [menyalahi hal yang lebih utama].
*(وَالْحَرَامِ)* حَتّٰى يَفْعَلَ الْحَلَالَ وَيَجْتَنِبَ الْحَرَامَ
*(dan [dapat mengetahui] perkara yang haram)*, sehingga ia [orang mukallaf itu] dapat mengerjakan perkara yang halal dan menjahui perkara yang haram.
وَفِيْ نُسْخَةٍ مِنَ الْحَرَامِ أَيْ لِتَمْيِيْزِ الْحَلَالِ الطَّيِّبِ مِنَ الْحَرَامِ الْخَبِيْثِ
Dan di dalam naskah yang lain [disebutkan dengan kalimat]: _minal kharōmi_ [dari perkara yang haram], yakni untuk membedakan perkara halal yang baik dari perkara haram yang buruk.
*(وَجَعَلَ مَآلَ)* أَيْ عَاقِبَةَ *(مَنْ عَلِمَ ذٰلِكَ وَعَمِلَ بِهِ الْخُلُوْدَ فِيْ دَارِ السَّلَامِ)* عَلٰى أَسَرِّ حَالٍ وَأَهْنَئِهِ مِنْ غَيْرِ كَدَرٍ يُصِيْبُهُ فِيْ قَبْرِهِ وَمَا بَعْدَهُ
*(dan [Alloh telah] menjadikan tempat kembali)* yakni kesudahannya *(siapa saja yang mengerti akan hal-hal itu dan mengamalkannya, [akan] kekal di negeri keselamatan)* dalam keadaan yang paling membahagiakan dan paling menyenangkan, tanpa ada kesusahan yang menimpanya di dalam kuburnya dan tahap-tahap setelahnya.
بِخِلَافِ مَنْ لَمْ يَعْلَمْ ذٰلِكَ لِتَرْكِهِ الْوَاجِبَ أَوْ عَلِمَهُ وَلَمْ يَعْمَلْ بِهِ
Berbeda halnya dengan orang yang tidak mengetahui akan hal-hal itu, karena ia meninggalkan perkara yang wajib, atau ia mengetahuinya, namun ia tidak mengamalkannya,
فَإِنَّ إِسْلَامَهُ وَإِنْ كَانَ مُتَكَفِّلًا لَهُ بِالْخُلُوْدِ أَيْضًا فِيْ دَارِ السَّلَامِ وَهِيَ الْجَنَّةُ إِلَّا أَنَّهُ قَدْ يَكُوْنُ بَعْدَ مَزِيْدِ عَذَابٍ وَمُؤَاخَذَةٍ
maka sesungguhnya keislaman orang tersebut, meskipun keislamannya itu dapat menjaminnya juga untuk kekal di negeri keselamatan, yaitu surga, hanya saja terkadang kekal [di surganya] itu setelah [ia mendapat] penambahan siksa dan hukuman [di neraka].
=============
📋 *CATATAN:*
=============
*⁵* _Khilaful awla adalah perkara yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan/tidak dikerjakan. Namun, meninggalkannya adalah lebih utama._
Advertisement
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar