HUKUM MENCICIPI MASAKAN SAAT PUASA

Diposting oleh Ilmu Alam Bercak on Sabtu, 18 Mei 2019

HUKUM MENCICIPI MASAKAN SAAT PUASA

Di sela-sela mengisi majelis taklim, saya pernah beberapa kali ditanya oleh jama’ah dengan pertanyaan cukup unik, khususnya dari ibu-ibu. Pak ustadz, bagaimanakah hukum mencicipi masakan pada saat puasa Ramadhan? Apakah batal puasanya?

Sahabat mimbar jum’at yang dimuliakan Allah. Memang tidak dapat dipungkiri kaum perempuan identik dengan masak-memasak. Tidak terkecuali pada saat puasa Ramadhan. Biasanya seorang istri yang merangkap sebagai ibu bagi anak-anaknya, mereka selalu disibukkan dengan rutinitas memasak di dapur menyiapkan hidangan buka puasa.

Berbeda dengan kaum laki-laki. Pada umumnya mereka tidak paham tentang urusan masak memasak, apalagi racikan bumbu ini itu dan sebagainya. Yang terpenting ketika adzan maghrib berkumandang, aneka hidangan buka puasa sudah siap tersaji di meja makan.

*****

Pahami Fiqh Puasa

Sebelum menjelaskan bagaimana hukum mencicipi masakan dan makanan pada saat puasa Ramadhan, ada baiknya kita membekali diri kita dengan pemahaman mengenai beberapa hal yang membatalkan puasa Ramadhan.

Seorang ulama besar dan kharismatik, Haji Sulaiman Rasyid dalam karya bukunya berjudul Fiqh Islam halaman 230 – 233 menguraikan beberapa hal yang membatalkan puasa Ramadhan.

PERTAMA, makan dan minum dengan sengaja. Jika makan dan minum tidak disengaja, maka puasanya tetap sah dan bisa dilanjutkan. Rasulullah saw bersabda: ‘Barang siapa lupa, sedangkan ia dalam keadaan puasa, kemudian makan atau minum, maka hendaklah puasanya disempurnakan karena sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum (HR. Bukhari Muslim).

Berdasarkan pada hadits ini, kita dapat menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang terjadi karena lupa, baik makan atau pun minum yang tidak disengaja maka hal itu tidak membatalkan puasa Ramadhan. Muncul pertanyaan lain, bagaimanakah hukum suntik atau pun infus, apakah membatalkan puasa Ramadhan?

Mayoritas ulama menyatakan bahwa hal ini tidak membatalkan puasa karena nutrisi makanan yang dikonsumsi tidak melalui saluran pencernaan secara normal, yakni tenggorokan. Kondisi ini biasanya terjadi hanya pada pasien yang sedang sakit dan tidak dijumpai pada manusia yang normal dan sehat.

Singkatnya, orang yang sedang sakit diperbolehkan berpuasa asalkan dia mampu. Dan boleh juga memilih untuk tidak berpuasa dengan menggantinya di hari yang lain di luar bulan Ramadhan. (QS. Al Baqoroh 184).

KEDUA, muntah yang disengaja meskipun tidak ada yang kembali ke dalam.

Sebaliknya jika tidak sengaja, maka puasanya tetap sah. Rasulullah saw bersabda: ‘Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW telah berkata, “Barang siapa terpaksa muntah, tidaklah wajib mengqada puasanya; dan barang siapa yang mengusahakan muntah, maka hendaklah dia mengqadha puasanya (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

KETIGA,  jima’ atau bersetubuh. Bagi suami dan istri yang melakukan jima’ pada siang hari di bulan Ramadhan, maka puasanya batal dan harus membayar kafarat dengan tiga alternatif, yakni a) memerdekakan hamba sahaya, b) (kalau tidak sanggup), maka harus berpuasa dua bulan berturut-turut, c) (kalau tidak kuat), maka bersedekah dengan makanan yang mengenyangkan kepada 60 fakir miskin.

Hal ini didasarkan pada satu hadits Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata, ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah saw, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata: ‘Wahai Rasulullah celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ (Dalam riwayat lain berbunyi: Aku berhubungan dengan istriku di bulan Ramadhan). Maka Rasulullah saw berkata, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’  Dia menjawab, ‘Tidak!’  Lalu beliau berkata lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab,’Tidak.’ Lalu beliau saw bertanya lagi : ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ’Tidak!’ Lalu Rasulullah diam sebentar.  Dalam keadaan seperti ini, Nabi saw diberi satu ‘irq berisi kurma –Al irq adalah alat takaran- (maka) Beliau berkata: “Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab,”Saya orangnya.” Beliau berkata lagi: “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!” Kemudian orang tersebut berkata: “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka Rasulullah saw tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian (Beliau saw berkata: “Berilah makan keluargamu!).”

KE EMPAT, keluar darah haid (menstruasi) atau nifas (darah setelah melahirkan). Dari Aisyah, ia berkata, “Kami disuruh Rasulullah saw mengqada puasa dan tidak disuruhnya untuk mengqadha shalat (HR. Bukhari).

Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang sedang berhalangan, baik karena haid atau nifas, tidak diperbolehkan puasa Ramadhan. Akan tetapi wajib menggantinya di hari yang lain di luar bulan Ramadhan. Mengenai ibadah shalat fardhu yang ditinggalkan selama masa haidh atau nifas, mereka tidak diwajibkan mengganti.

KE LIMA, Gila. Jika gila datang pada siang hari, maka batallah puasanya.

KE ENAM, keluar air mani dengan sengaja.

Sebaliknya jika tidak disengaja, baik karena bermimpi, mengkhayal dan sebagainya, maka tidak membatalkan puasa.

*****

Sahabat Ramadhan yang berbahagia. Itulah lima hal yang membatalkan puasa Ramadhan. Diluar lima hal di atas, baik mencicipi makanan, tertidur, sikat gigi, terminum air sungai, suntik, infuse, maka semua itu tidak membatalkan puasa. Namun demikian  hendaknya kita tetap berhati-hati.

*****

Teruskan Puasanya

Kembali pada pokok pertanyaan di atas tentang hukum mencicipi masakan hidangan untuk berbuka puasa. Ibnu Abbas mengatakan “Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke kerongkongan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).

Berdasarkan hadits ini, kita dapat memahami dengan jelas bahwa mencicipi makanan atau masakan yang akan dihidangkan untuk berbuka puasa tidak membatalkan puasa Ramadhan, dengan alasan bahwa makanan atau masakan yang dicicipi tidak ditelan dan masuk ke dalam kerongkongan. Jika kondisi ini dilakukan maka batal puasanya (Ahmad Zain an-Najah, Tanya Jawab Seputar Puasa, 2012:60).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mencicipi makanan terlarang bagi orang yang tidak memiliki hajat, akan tetapi hal ini tidak membatalkan puasanya. Adapun untuk orang yang memiliki hajat, maka hukumnya seperti berkumur-kumur.” (Majmu’ Fatawa, 25/266-267, Maktabah Syamilah).

Namun demikian hendaknya kaum perempuan lebih hati-hati dan memperhatikan beberapa hal berikut.

PERTAMA, jika dirasa perlu mencicipi masakan, hendaknya cukup meletakkan sebagian masakan atau makanan di ujung lidah sehingga ia dapat mengenali apakah makanan ini manis atau asin. Pastikan setelah makanan yang dicicipi dirasa cukup, segera mungkin diludahkan dan pastikan tidak ada sisa makanan yang tersisa di dalam rongga mulut.

KEDUA, jika seorang wanita khawatir pada saat mencicipi makanan atau masakan yang kemudian tertelan, maka hal ini dapat disiasati dengan menyuruh atau meminta tolong kepada anak gadis atau pembantu yang kebetulan saat itu tidak berpuasa karena halangan haidh atau nifas.

KETIGA, Salah satu tips yang dapat dilakukan untuk memperkecil kesempatan mencicipi bahan makanan adalah menakar dan mempersiapkan komposisi bumbu halus atau bahan yang akan dimasak. Hal ini bisa dilakukan selepas makan malam atau sebelum masuk waktu sahur. 

Dengan demikian kita terhindar dari sikap keragu-raguan, lebih yakin dan khusyuk dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan. Wallau a’lam.

Repost Mohamad Mufid

Prabumulih Pos,
Edisi Jumat, 17/05/19  -- 12 Ramadhan 1440 H

#DakwahBilQolam

Advertisement

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar